Sore
pukul 05.00 aku masih termangu memandangi kendaraan beroda dua berwarna
hitam yang terparkir lemah diguyur derasnya hujan. Hampir setengah jam
aku hanya duduk di bawah atap parkiran khusus dosen dan menunggu
kedatangan bapakku. Sesekali mataku memerhatikan beberapa pengendara
lain yang mengambil motor mereka di parkiran itu. Sesekali pula aku
menengok ponsel melihat beberapa status-status galau dari beberapa
pengguna facebook. Aku kembali memandangi motor tua di depanku itu dan
meraih gasnya mencoba menghidupkannya lagi. Namun, hasilnya tetap nihil.
Kusadari pakaianku mulai basah dan aku kembali berlari ke parkiran
beratap. Selalu begini! Motor jelek!. Aku menggerutu. Kulihat pakaianku dan kuingat ejekan teman-temanku. Emma, pakaianmu gak nyambung sama motormu, tuh. Aku
memang selalu terlihat modis di depan teman-teman. Baju, rok, jilbab,
sepatu dan tas semuanya kubuat senada satu sama lain. Namun, kendaraanku
sama sekali tidak pas. Motor tua bekas bapakku 10 tahun lalu. Warnanya
hitam polos dan terlihat reot. Motor produk gagal milik perusahaan
tempat bapak bekerja itu diberikan 10 tahun lalu kepada bapak mungkin
karena mereka kasihan, itu pikirku. Kuambil tasku dan aku berlari
meninggalkan sepeda motor reot itu bergegas menuju halte sekitar
parkiran. Bagaimana pun ini sudah keterlaluan! Reot, suka mogok pula!.
Beberapa menit kemudian sebuah
metromini tanpa penumpang menghampiriku dan aku pun menaikinya. Kuingat
setengah jam lalu kutelpon bapak.
“Bapak ada di mana?” tanyaku dengan nada tak sabar.
“Bapak masih di kantor. Ada apa?”
“Motor ku mogok lagi, nih!”
“Oh, iya tunggu bapak ke sana sekarang, ya!” serunya.
“Cepetan, ya!”
Tuutt. Begitu percakapan singkat kami. Katanya ‘ke sana sekarang’, setengah jam belum datang. Rasakan urus motor itu sendirian. Siapa suruh! Ngasih motor yang bagusan dikit, dong! Hujan semakin deras dan metromini yang kutumpangi merapat kembali ke pinggiran jalan. Tampaknya ada penumpang.
“Hati-hati! Awas kepalamu!” seru
seorang ibu memegang kepala anaknya yang berusia 5 tahun yang menaiki
metromini. Setelah kedua penumpang itu duduk metromini kembali melaju di
jalanan yang licin.
“Ma, lihat tadi aku dapat 80!” ujar si anak sambil memperlihatkan anyaman kertas warna-warninya pada sang ibu. Aku menoleh dan melihat sang ibu. Kenapa ibu itu diam saja? Kulihat dia tersenyum dan merangkul pundak anaknya hangat tanpa berkata sepatah kata pun. Dahiku mengernyit. Cih, anaknya pasti sedih tidak dipuji!
Kuingat bapak juga pernah melakukan
itu padaku. Tugas IPA kelas 4 sekolah dasar yakni membuat telepon
sederhana dengan bantuan benang godam dan kaleng susu. Hari itu harusnya aku dipuji! Aku kan dapat 95. Malam
itu dengan penuh kekecewaan aku menangis sesenggukan karena kaleng susu
yang kuharapkan ada di meja ternyata sudah dibuang mama. Mama terlihat
merasa bersalah dan menawarkan mengganti kaleng susu dengan kaleng ikan
sarden. Aku menolak karena ingin mengerjakan sesuai instruksi di buku.
Mama memutuskan untuk membeli susu kaleng baru. Namun, aku kembali
menolak dengan dalih ibu guru meminta harus menggunakan yang bekas. Aku
semakin marah karena bapak tidak terlihat untuk menolongku atau
menghiburku malam itu. Tangisku semakin pecah dan menyalahkan kedua
orang tuaku.
Paginya aku bangun dengan mata yang bengkak karena menangis hingga kelelahan.
“Aku tidak ingin ke sekolah!”
kuteriakkan dari kamarku. Mama datang membujukku dan menyerahkan dua
buah kaleng susu bersih padaku. Betapa senangnya aku hari itu. Itu bukan
kaleng susu baru. Ada beberapa bagian yang mulai berkarat. Sigap aku
bersiap menuju sekolah. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dibonceng
oleh bapak. Aku masih marah karena ia tidak membantu apa-apa. Sepulang
sekolah ia menjemputku dan bertanya tentang hasil percobaanku.
“Aku dapat 95.” Jawabku datar karena aku masih
marah padanya. Dia hanya tersenyum dan merangkul pundakku. Aku
menghindar darinya dan naik ke motor. Sampai di rumah dengan bangga aku
memamerkan nilaiku pada mama di depan bapak. Sungguh berbeda dengan
sikapku tadi pada bapak. Aku sengaja melakukannya ingin menunjukkan kekesalanku padanya. Bapak hanya tersenyum padaku hangat.
Beberapa hari kemudian baru
kuketahui bahwa bapak yang semalaman telah mencarikan dua kaleng susu
bekas itu. Dia mencarinya di tempat sampah rumah kami kemudian ke tempat
sampah komplek kami, namun nihil. Semalaman ia mengetuk rumah tetangga
menanyakan hal yang sama. ‘Maaf, apakah Anda punya kaleng susu bekas?
Bisa saya membelinya?’. Seorang tetangga menunjukkan kaleng susunya baru
saja dia buang di tanggul depan rumah mereka. Seakan tak ada pilihan
lain, bapak langsung turun ke tanggul kotor itu dan mengambil tiga buah
kaleng susu bekas. Tetangga yang melihat kejadian itu hanya termangu
melihat. Segera bapak mencuci hingga bersih dan menghilangkan semua
cairan kotor dari got dengan desinfektan. Kaleng itulah yang paginya aku
lihat. Kaleng bersih dan harum yang meskipun sedikit berkarat tetap
dapat membuatku tersenyum sumringah. Aku yang mendengarkan hal itu hanya
mengatakan padanya, ‘Bapak kayak orang bodoh!’
Kuingat senyuman bapak yang hangat persis seperti senyum sang ibu tadi pada anaknya. Aku menghela nafas dalam. Kenapa bapakku mau dibodohi anak kelas 5 SD?
Tak kusadari ternyata metromini
yang kutumpangi sudah penuh dengan penumpang remaja. Metromini terdengar
riuh dengan gelak tawa remaja putri itu mengalahkan derasnya rintik di
luar sana. Senang sekali mereka. Aku tersenyum-senyum mendengar percakapan polos mereka.
Kuingat masa-masa sekolah menengah
pertamaku juga dipenuhi gelak tawa seperti mereka. Pergi dan pulang
bimbingan bahasa Inggris bersama. Membeli beberapa jajanan di pinggiran
jalan kemudian menaiki metromini sambil membicarakan hal-hal yang polos
selama masa puber.
Waktu itu tempat bimbinganku jauh juga. Malam pula. Kuingat
aku dan teman-teman sesama kompleks memang memilih mengikuti tempat
bimbingan bahasa yang cukup jauh dengan dalih kualitas yang lebih baik.
Bimbingan malam pun dipilih karena jadwal
sekolah yang sampai sore. Alhasil kami pun harus pulang pukul 8.30
setiap malam dimana metromini sudah sangat jarang. Orang tuaku
sebenarnya melarang, namun aku tetap bersikukuh dan aku pun diizinkan.
Setiap pulang dari bimbingan bapak
pasti sudah berada di belakang metromini kami dan mengawasi kami dari
belakang. Berkali-kali aku melarangnya karena aku merasa tidak enak
dengan teman lain. Kami merasa tidak bebas. Namun, hal itu tidak
diindahkannya. Bahkan saat malam dengan hujan yang deras meskipun tidak
terlihat secara langsung, aku tahu ia ada di belakang metromini kami.
Cahaya lampu motor tuanya yang agak redup sangat kontras dengan cahaya
motor lainnya. Sesekali aku melirik ke belakang metromini dan tersenyum
masam. Pasti ia melihatnya. Seandainya aku bukan anak tunggal, aku pasti dibiarkan bebas. Itu pemikiranku hari itu, namun aku salah.
Setahun kemudian, seorang saudara
sepupu perempuan memutuskan menetap di rumah kami. Orang tuaku sudah
menganggapnya sebagai anak sendiri. Saudara
sepupu perempuan itu lebih tua dariku dan dia sedang melanjutkan
pendidikannya di salah satu universitas di kota kami. Karena jarak
yang sangat jauh dari kediaman kami maka bapak tiap hari
mengantarjemputnya di samping juga mengantarku ke sekolah. Kami sudah
seperti kakak beradik perempuan. Dengan motor butut hitamnya dia
memboncengku ke sekolah kemudian membonceng kakak perempuanku itu ke
universitasnya padahal bapak sendiri harus masuk kantor pukul delapan
pagi dan pukul lima segera ia menuju ke kampus kakakku lagi yang jauh.
Rutinitas melelahkan bapak itu dijalaninya berbulan-bulan hingga
akhirnya suatu hari terdengar kabar yang mengejutkan. Kakak perempuan
yang selama ini disayangi bapak itu melakukan hal yang tidak semestinya
dilakukan sepasang kekasih yang belum menikah. Keluarga kami seperti
kejatuhan musibah besar. Dipojok ruangan untuk pertama kalinya kulihat
bapak meneteskan air mata. Ia tampak menyembunyikan kesedihannya di
depan kami. Tak kusadari aku pun meneteskan air mata di balik dinding
melihatnya dari jauh. Malam itu kami terdiam sambil sesenggukan. Air
mata bapak hari itu adalah air mata pertama yang kulihat dan membuatku benar-benar sesak.
Di metromini aku termangu melihat datar jendela mobil yang berembun akibat dinginnya cuaca.
Apakah mungkin selama ini bila aku menyakitinya ia akan bersembunyi di suatu tempat dan menangis seperti itu? Kesedihannya selalu ia tutupi dengan tersenyum. Apakah seperti itu? Bahkan kepada anak orang lain saat ia disakiti ia dapat meneteskan air mata. Bagaimana dengan anaknya sendiri?
Saat aku mengacuhkannya setelah ia turun ke got demi dua kaleng susu
bekas. Saat kuberikan senyum masamku padanya setiap dia menguntitku dari
belakang metromini di tengah hujan deras. Saat kutinggalkan dia dengan
motor tuanya yang mogok di parkiran kampusku dan aku mengutuknya di
sini, di metromini ini. Bagaimana perasaan bapak sekarang kalau melihatku tidak menunggunya di parkiran? Nanda, kamu keterlaluan!
Hatiku dan tubuhku gemetar.
Kuhentikan metromini yang kutumpangi dan segera menaiki sebuah bentor,
becak motor, yang segera membawaku kembali ke parkiran kampus. Tanpa
memperhatikan tubuhku yang basah aku berlari menuju parkiran tadi.
Langkahku terhenti melihat sosok sendu bapak di depan sana. Dia masih
memakai jas hujan dan helm merahnya, namun sepatu dan celana kain
seragam kantornya sudah basah. Motornya tampak dia parkir di samping
motor tua yang kini diraihnya. Kakinya sibuk menstater motor hitam itu.
Betapa bodohnya bapakku di sana
yang selalu dipermainkan anak tunggal kesayangannya. Batapa bodohnya aku
baru menyadari betapa aku beruntung memiliki bapak seperti beliau. Tak
terasa lagi air mataku karena dinginnya wajahku sore itu.
Bapak kaget melihatku yang
tertegun. Ia berlari kearahku dan memasukkanku ke dalam jasnya kemudian
meneduhkanku di bawah parkiran beratap.
“Kenapa basah, nak? Tunggu bapak
nyalakan motormu.” Ucapnya dengan senyum simpel. Ia kembali berlari ke
arah motor tua itu. Aku semakin sesenggukan menahan tangisku. Bapak maafkan aku… terima kasih sudah menjadi bapakku..
Terima kasih untuk Bapak yang telah menjadi ayah terbaikku,,,
0 komentar:
Posting Komentar